Beberapa waktu lalu, di tengah perjalanan gue menuju JP (Jalan Padang) di siang bolong, gue mengingat-ngingat pembicaraan gue dengan salah satu teman lama gue, boleh dibilang lama.
Dia bercerita bahwa kini adiknya telah menikah. Waktu itu gue cukup kaget.
Ralat! Sangat! Sangat kaget.
Pasalnya adiknya hanya berusia setahun lebih tua (lebih sedap kalo dibaca lebih dewasa) dari gue. Dua Puluh berarti umurnya. Anggap saja sekarang gue sah sembilan belas.
Gue tidak bisa membayangkan dia, sebut saja Johan (kesamaan nama tokoh hanya kebetulan belaka, tidak disengaja), berkeluarga di usia sedini ini dan dengan keadaan belum siap.
Paling tidak menurut gue dia belum siap, dan sejuta umat diluar sana berpendapat demikian.
Tapi ya mau bagaimana lagi.
Ada informasi penting juga dibalik ini semua,
gue naksir berat sama si Johan ini waktu gue duduk di kelas 3 SD.
Sampai SMP, entah kelas berapa, gue masih naksir dia.
Tapi ini bukan faktor cemburu buta yang menyebabkan gue shock berat mendapati dia sudah menikah.
Bahkan ketika kakaknya, yang teman gue, sempat berniat menunjukkan foto pernikahannya. Untung niat baik itu diurungkan kembali olehnya.
Entah untuk alasan apa.
Selang beberapa hari dari pembicaraan gue dengan teman gue itu, gue bertemu dengan teman gue yang lain.
Bertemu untuk membicarakan pernikahannya di depan mata.
Kalau yg sebelumnya setahun lebih tua, ini setahun lebih muda.
Bedanya lagi, sebelumnya laki-laki, ini perempuan.
Pas deh. Dua sisi.
Gue sempat bertanya dimalam sebelum perjumpaan tersebut, kenapa nikahnya harus kejar tayang? Dia menjawab, "lo mau punya keponakan, Vy!".
Baiklah. Saya paham maksud anda.
Besar di daerah pinggiran kota yang cukup "brekele", gue sering mendapati situasi begini terutama di lingkungan sekolah gue.
Tapi belom pernah yang sedekat ini.
Dia teman seperjuangan sehidup semati gue jaman sekolah.
Ngangkot bareng, jalan kaki bareng, temen setia gue setiap mati lampu.
Temen yang sering gue utangin.
Kalo gue gak bikin PR, dia juga gak bikin.
Kurang apalagi coba?
Mereka belum siap, masih cukup jauh dari siap.
Mereka belum mapan, jauh dari mapan.
"lucu aja vy entar gue main sama bayi."
"gue bosen aja sama sehari-hari gue yang begini"
"kalo gak gini, dia gak diterima sama nyokap gue vy"
Will it become a funny story?
It's not a f**n reality show.
Is it a happy ever after story, just like in a fairy tale, a part where you meet a prince and getting marriage?
Is he the prince?
Will it become better?
Both of us know about it in a silence.
I remember what she ever said to me,
"somebody gets a chance to get out of here, somebody don't. Trapped by these situations."
Really?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar